Rabu, 15 April 2015

Ruang Publik Digital dan Demokrasi



UU ITE dan Kebebasan Berpendapat di Media Sosial

Pendahuluan

Di era informasi seperti sekarang ini, kemajuan peradaban masyarakat sudah sangat pesat. Perkembangan teknologi khususnya informasi dan komunikasi telah melndorong perubahan-perubahan dalam masyarakat dimana aspek-aspek kehidupannya tidak terlepas dari pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi. Internet merupakan bentuk dari teknologi informasi dan komunikasi yang perkembangannya sangat pesat. Internet telah memberikan kemudahan-kemudahan kepada masyarakat. Melalui internet orang-orang dapat berkomunikasi satu dengan lainnya dengan cepat dan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Internet juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti bisnis dan pendidikan, serta penyaluran aspirasi atau pendapat.
Dunia internet telah memberikan kontribusi yang besar pada setiap masyarakat. Saat ini pengguna internet mencapai tingkat yang cukup tinggi, hal ini dikarenakan internet menyediakan berbagai macam informasi yang luas, serta memberikan fitur-fitur yang dibutuhkan termasuk di dalamnya ruang interaksi terbuka bagi penggunanya. Interaksi dan konektivitas dari banyak individu pengguna internet sebagai media informasi dan komunikasi ini pada akhirnya memunculkan ruang interaksi baru bagi warganegara yaitu dikenal dengan ruang publik di dunia maya. Internet telah lama diidentifikasi sebagai agora (ruang publik dalam budaya politik Yunani). Di dalamnya, pengguna menemukan cara baru untuk berinteraksi dan mendiskusikan berbagai hal termasuk diantaranya ekonomi, politik, sosial, bahkan gosip yang belum tentu benar. Konektifitas universal memungkinkan internet dapat diakses oleh siapapun dan dimanapun.
Dewasa ini internet juga dipakai sebagai sarana bagi masyarakat untuk mengungkapkan dan menyalurkan aspirasi atau pendapatnya. Mayoritas dari pengguna internet menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, Blog pribadi, dan Youtube sebagai media untuk menyampaikan pendapatnya. Namun tidak sedikit juga yang menggunakan sarana lain seperti email, Blackberry Messenger, dan grup-grup chatting lainnya. Media sosial memberi kesempatan seluas-luasnya kepada jejaring sosial atau pada siapapun untuk berpendapat dan berekspresi. Lewat kicauan di Twitter, status di Facebook, ataupun video di Youtube, pengguna bebas menyatakan dan menulis apa saja yang mereka inginkan.
Akan tetapi, kebebasan berpendapat dan berekspresi melalui internet dalam hal ini media sosial bukannya tanpa batasan. Ancaman hukuman terhadap aktifitas di media sosial tetap ada. Di Indonesia, keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 310 ayat 1 juga Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pada dasarnya menjadi rambu-rambu dalam interaksi melalui media sosial.
UU ITE mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui media internet. Sementara dalam KUHP, khususnya Pasal 310 ayat (1), juga diatur masalah pencemaran nama baik.
Khusus untuk UU ITE, terutama pasal 27 ayat 3 saat ini menjadi sorotan. Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini dianggap telah mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi melalui dunia maya. Sudah banyak orang yang terjerat oleh pasal tersebut. Pasal ini memicu protes dari masyarakat dan aktivis karena dinilai membungkam kebebasan berekspresi, termasuk di ranah internet. Mereka meminta pemerintah untuk memperjelas makna yang multitafsir dari aturan itu. Pertanyaannya kemudian, apakah UU ITE khususnya pasal 27 ayat 3 ini perlu direvisi? Apakah ada solusi lainnya?


Tinjauan Pustaka

Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 dalam Pasal 1 mencantumkan pengertian dari Informasi Elektronik yaitu suatu atau sekumpulan data elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Dalam ketentuan umum Pasal 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektornik disebutkan bahwa Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer dan atau media elektronik lainnya.

Kebebasan Berpendapat

Hak untuk menyatakan pendapat terdapat dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) PBB yang dideklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948, pada pasal 19 ditegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa ada batasan.”
Pasal  kebebasan berpendapat dan berekspresi pada DUHAM PBB tersebut kemudian diperkuat pada Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 16 Desember 1966, melalui pasal 19 di dalam Kovenan (Kesepakatan) Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pasal 19 pada kesepakatan tersebut tertulis sebagai berikut:
(1) Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan (pihak lain).
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide/gagasan apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, tulisan, cetakan, dalam bentuk karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.
(3) Pelaksanaan hak-hak yang diicantumkan dalam ayat 2 pasal ini turut membawa kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal (pembatasan) ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk :
a) Menghormati hak atau reputasi (nama baik) orang lain
b) Melindungi keamanan nasional, ketertiban umum,  kesehatan ataupun moral umum/publik.
Di Indonesia hak kebebasan berpendapat terdapat dalam UUD 1945 pasal 28F yaitu “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Media Sosial

Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.
Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai "sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content".


Pembahasan

Berlakunya era informasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia ditandai dengan menjamurnya berbagai situs jejaring sosial, semakin terjangkaunya harga gadget dengan teknologi mutakhir, dan kemudahan komunikasi antar individu melalui internet. Media sosial merupakan salah satu sarana yang bisa dipakai untuk menyalurkan kebebasan berpendapat dan berekspresi.  Namun, selain kebebasan ada juga batasan dalam bentuk regulasi atau peraturan sehingga kebebasan yang ada itu tidak sebebas-bebasnya dan tentu ada tujuan dari peraturan itu yaitu supaya kebebasan yang ada tidak merugikan orang lain. Misalnya, seseorang berkata buruk atau mencemarkan nama baik seseorang, maka ia akan terjerat UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Sejak pertama diterapkan, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008, khususnya pasal 27 ayat 3 menjadi momok menakutkan untuk banyak pihak. Banyak yang menjulukinya sebagai pasal karet. Umurnya memang baru sekitar 7 tahun, namun hingga tahun 2014 saja sudah 74 kasus yang menggunakan UU tersebut sebagai dasarnya. Berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) sebuah organisasi nirlaba yang fokus mengamati kebebasan berekspresi di internet, sebagian besar dari kasus itu terjadi pada tahun 2014, yaitu 39 kasus, sekitar 53% dari total 74 kasus. Jika dirata-rata, pada tahun 2014 berarti ada sekitar 4 kasus tiap bulannya. Lokasinya sendiri tersebar dari Aceh hingga Sulawesi Selatan.
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik,” demikian bunyi pasal tersebut. Hukumannya tidak tanggung-tanggung yaitu maksimal 6 tahun penjara atau denda 1 miliar rupiah. Sudah banyak orang yang dijerat dengan pasal ini karena komentarnya di media sosial. Beberapa kasus terbaru misalnya kasus M Arsyad, Benny Handoko, Ervani, dan Fadli.
Arsyad dijerat dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE karena statusnya di BBM. Arsyad menulis status di BBM- nya yang dianggap menghina seorang politikus. Kasus yang dialami Arsyad ini termasuk unik karena dari beberapa orang yang pernah dijerat dengan pasal 27 ayat 3, Arsyad adalah orang yang pertama menggunakan medium status BBM. Korban lainnya lebih banyak karena isi twit, status facebook atau tulisan di laman blog pribadi. Unik dan aneh karena BBM ranahnya jelas masih lebih tertutup dibanding media sosial. Tapi UU ITE ternyata tidak pandang bulu, semua yang menggunakan medium elektronik bisa terjerat pasal ini.
Kasus lainnya menimpa Benny Handoko (Benhan), karena kicauannya di twitter ia divonis bersalah oleh pengadilan. Benhan dinyatakan bersalah karena menulis komentar di akun twitternya yang dianggap menghina dan mencemarkan nama baik seorang politikus. Kasus pencemaran nama baik juga dialami oleh Ervani. Ervani dianggap secara sah melakukan perbuatan tindak pidana karena menulis komentar di facebook yang mencemarkan nama baik seseorang. Awalnya Ervani menulis komentar melalui BBM, kemudian mengunggah status tersebut ke akun facebook miliknya.
Kasus terakhir menimpa Fadli, seorang PNS di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Fadli dijerat dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE karena menulis komentar melalui grup chatting Line yang dianggap menghina dan mencemarkan nama baik seseorang. Pada grup chatting Line yang beranggotakan beberapa orang alumni salah satu SMU Negeri di Gowa, Fadli menulis komentar yang bernada menuduh kepala daerah setempat. Komentar Fadli itu kemudian menjadi masalah. Salah seorang anggota dari grup tersebut meneruskan komentar yang ditulis Fadli kepada bupati yang juga adalah atasannya. Komentar yang ada dalam grup tertutup dan tidak seharusnya keluar ke publik itu akhirnya membuat sang bupati tersinggung dan mengambil tindakan. Dalam perkembangannya, Fadli akhirnya mendapat sanksi administratif berupa penurunan pangkat dan beberapa bulan kemudian menjalani proses hukum.
Dari beberapa contoh kasus di atas dapat di lihat bahwa UU ITE khususnya pasal 27 ayat 3 telah menjadi ancaman yang menakutkan bagi para pengguna internet terutama yang biasa berinteraksi melalui media sosial. Efek menakutkan atau yang lebih dikenal dengan “chilling effect” bisa menimbulkan ketakutan kepada masyarakat untuk berpendapat melalui media sosial. Sebagian pengguna internet mulai berpikir dua kali sebelum memposting atau mengunggah sesuatu yang berbau kritikan. Padahal media sosial bisa digunakan sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi atau pendapat.
Sejatinya UU ITE dibuat untuk mengatur tata kelola dan tata guna internet di Indonesia. Tujuan utamanya adalah agar para pengguna internet tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang bersifat negatif dan melanggar etika serta norma-norma hukum.  Namun tidak bisa dipungkiri bahwa aturan ini juga telah membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi di internet. Berbagai pihak kemudian melihat perlu adanya perubahan terhadap pasal 27 ayat 3 UU ITE ini, bahkan ada juga beberapa pihak yang meminta agar pasal ini dihapuskan saja.
Perkembangan media sosial yang begitu pesat telah mendorong interaksi di dunia maya semakin meningkat. Hal ini juga berdampak pada akses masyarakat untuk menyalurkan pendapatnya. Dengan kata lain bahwa media sosial membantu masyarakat dalam menyalurkan pendapatnya. Namun, dengan catatan ada rambu-rambu atau batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Bisa dibayangkan apabila interaksi di media sosial tidak mempunyai aturan atau batasan, yang timbul adalah kekacauan. Oleh karena itu, adanya UU ITE sangat penting untuk mengatur dan melindungi aktifitas di internet. Kalaupun ada desakan dari berbagai pihak agar UU ini direvisi itu juga tidak ada salahnya. Hal ini dikarenakan adanya keprihatinan terhadap orang-orang yang telah dijerat dengan UU ini. Pemerintah melalui Kemkominfo juga telah mengakui bahwa UU ITE punya peran yang sangat besar dalam melindungi transaksi elektronik di Indonesia. Namun, ada juga efek yang tidak baik dari UU ini. Menurut pemerintah, kelemahan dari UU ini adalah dari aspek penerapannya sehingga muncul beberapa korban. Solusinya adalah perlu adanya kordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penerapannya. Solusi lainnya adalah revisi UU dengan melibatkan multi stake holder atau semua pihak yang sama-sama menggunakan internet untuk kepentingan mereka.
Ada hal lain yang juga harus dipahami oleh para pengguna internet agar dapat memanfaatkan internet secara sehat dan terhindar dari hal-hal yang dapat merugikan diri mereka sendiri dan orang lain. Interaksi di media sosial adalah interaksi dengan orang lain, sehingga ada kaidah atau norma-norma yang tidak boleh  dilanggar dalam hubungannya dengan orang lain. Dalam dunia IT ada yang namanya cyber ethics, yaitu nilai-nilai yang disepakati bersama untuk dipatuhi dalam interaksi antar pengguna teknologi khususnya teknologi informasi. Jadi, ada etika yang harus disepakati bersama dalam interaksi di internet sehingga tidak menimbulkan efek negatif. Para pengguna internet dalam menyalurkan kebebasan berpendapat dan berekspresinya melalui media sosial harus mengetahui etika atau norma-norma yang ada sehingga tidak melanggar hak-hak orang lain.


Kesimpulan

Perkembangan penggunaan internet telah memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat. Internet telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mempercepat pembangunan dan kemajuan manusia, serta mewujudkan berbagai hak asasi manusia termasuk kebebasan berpendapat dan berekspresi. Media sosial menjadi sarana yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk menuangkan pikiran dan uneg-unegnya. Akan tetapi, kebebasan berpendapat dan berekspresi bukannya tanpa batas. Ada aturan atau norma-norma yang menjadi patokan dalam berinteraksi melalui media sosial.
UU No. 11 Tahun 2008 atau yang lebih dikenal dengan UU ITE hadir untuk mengatur penggunaan dan pengelolaan internet di Indonesia. Namun, dalam penerapannya UU ini malah menjadi momok yang menakutkan terutama bagi orang-orang yang suka mengekspresikan pikirannya dalam bentuk kritikan. UU ITE terutama pasal 27 ayat 3 dianggap multitafsir dan bisa digunakan atau diinterpretasikan oleh siapa saja untuk membunuh kebebasan berpendapat dan berekspresi di internet.
Sudah banyak orang yang telah dijerat dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE, sehingga hal ini penting untuk menjadi perhatian baik dari kalangan masyarakat luas sebagai pengguna internet maupun pemerintah sebagai pembuat regulasi. Perbaikan memang sepertinya diperlukan agar UU ITE ini tidak lagi menjadi tembok penghalang kebebasan berpendapat dan berekspresi di internet. Selain itu, koordinasi dan sosialisasi harus lebih ditingkatkan. Partisipasi dan kesadaran masyarakat juga sangat diperlukan. Masyarakat hendaknya menggunakan internet secara lebih sehat dengan berpatokan pada norma-norma yang ada sehingga tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.



Referensi

http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20140901173359-192-2204/banyak-korban-pasal-27-uu-ite-perlu-diperjelas/
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang_Informasi_dan_Transaksi_Elektronik
http://www.aktualzone.com/inteligen/berita/etika-dan-regulasi-dalam-media-siber.html
http://inet.detik.com/read/2015/02/03/160801/2822347/399/makan-korban-74-orang-menkominfo-uu-ite-tidak-salah
http://donnybu.com/2012/07/25/internet-kebebasan-berekspresi-dan-hak-asasi-manusia-ham/
http://demokrasidigital.net/blog/masa-depan-kebebasan-berekspresi-di-internet-opini-ipulgs/
http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2013/09/29/media-digital-sebagai-ruang-publik-model-baru-594141.html
http://ronny-hukum.blogspot.com/2008/05/makna-di-balik-definisi-informasi_23.html










  
  
Disusun oleh:

Marini Ilyas
Meladia S.W. Issak
Edi Wijaya
Nashrullah

Rabu, 04 Maret 2015

Peran Internet Sebagai Ruang Publik dalam Mendukung Demokrasi di Indonesia

Ruang Publik (Public Sphere)
Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman melalui karyanya, The Structural Transformation of the Public Sphere, menggagas konsepsi “Ruang Publik” yang berhasil ditelusuri asal-usulnya dalam tradisi borjuis abad ke-18. Gagasan ruang publik ini sendiri muncul sebagai bagian dari tradisi filsafat pencerahan politik liberal. Model Ruang Publik borjuis abad ke-18 menjadi panduan normatif bagi gagasan Habermas ini.
Menurut Habermas, sebuah negara disebut demokratis jika ia menyediakan sebuah ruang publik yang “netral” bagi setiap warga negara untuk menyampaikan pendapatnya, gagasannya, bahkan mengkritik kekuasaan (Habermas, 2000). Dalam tafsiran Habermas, sejarah kapitalisme dan merkantilisme hakekatnya memerlukan sebuah ruang di mana informasi dapat dipertukarkan secara bebas. Inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal ruang publik borjuis, di mana tidak hanya informasi bisnis, tetapi juga budaya dan politik yang dimungkinkan untuk didiskusikan secara bebas. Dari analisis historis ini, Habermas menyimpulkan karakteristik ruang publik demikianlah yang berperan memajukan negara demokratis.
Ia mengidentifikasi, faktor-faktor penting yang mendorong kebangkitan revolusi demokratis abad 18 dan 19 adalah munculnya penghargaan terhadap ruang publik bagi wacana yang berkembang di masyarakat. Ruang publik adalah sebuah forum atau arena yang menjadi penengah antara negara dan masyarakat. Di dalam arena itu setiap warga negara dapat menyampaikan gagasannya secara terbuka bahkan mengkritik ketidakadilan yang dijalankan pemegang kekuasaan. Ruang publik itu bersifat independen terhadap pemerintahan dan kekuatan ekonomi dan didedikasikan pada diskursus rasional yang bersifat terbuka dan dapat diakses setiap warga negara demi terbangunnya sebuah opini publik yang sehat.
Di era Habermas, ruang publik terjadi di warung- warung kopi dan salon. Di sana masyarakat dari ber- bagai kelas dan golongan memiliki kebebasan untuk berpendapat menyampaikan berbagai informasi atau berdiskusi mengenai isu yang hangat yang terjadi di hari itu apakah menyangkut politik, bisnis, atau gaya hidup (Moyo, 2009). Sederhananya, warung kopi menjadi tempat bertukar informasi untuk segala hal. Juga menjadi tempat di mana setiap orang, siapapun dia, tanpa mempetimbangkan kelas, gender, status sosial ekonomi, dan golongan, memiliki hak untuk duduk dan menyampaikan gagasannya atas beragam persoalan-persoalan publik.

Internet sebagai Ruang Publik
Sejarah mencatat, media-media baru selalu hadir seiring dengan perkembangan teknologi. Perkembangan media erat terkait dengan perkembangan teknologi. Kehadiran media-media baru itu tentu bukan alasan. Alasan utamanya adalah Internet kini menjadi kerumunan baru. Penetrasi Internet di Indonesia tumbuh sangat cepat. Menurut laporan www.Internetworldstats.com, tahun 2012, jumlah pengguna Internet di Indonesia adalah terbesar keempat di Asia setelah China, India, dan Jepang. Di periode yang sama, 65 juta masyarakat Indonesia tersambung dengan Internet. Di tahun 2013, jumlah pengguna Internet tumbuh signifikan hingga 74,57 juta pengakses. Menurut lembaga riset MarkPlus Insight, angka jumlah pengguna Internet di Indonesia akan menembus 100 juta jiwa di tahun 2015 (Marketeers, 2013). Tingginya pengguna Internet di Indonesia juga terasa di jagat media sosial. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan aktivitas media sosial yang paling aktif
Ruang publik masa kini bertransformasi di jagad maya bernama Internet. Setiap masyarakat yang terhubung dengan Internet, apakah melalui personal komputer, laptop, tablet, atau telepon selular, kini dapat bebas menyampaikan gagasannya, baik berpartisipasi dalam kolom komentar media, diskusi di forum-forum, atau mengunggah opini mereka di blog. Di Internet kita tidak mengenal batasan kelas. Internet menjadi ruang publik paling utama, dan menjadi tempat bertemunya warga dunia. Siapapun yang memiliki akses Internet dapat mencari informasi, mengeluarkan pendapat, dan berkumpul bersama-sama secara online. Karena itu, revolusi komputer dan kehadiran jaringan Internet di rumah-rumah seharusnya memperkuat kultur demokrasi, memberdayakan masyarakat dan organisasi-organsiasi di masyarakat untuk mengartikulasikan gagasan mereka seluas-luasnya.

Peran Ruang Publik dalam Memperkuat Demokrasi
Internet membuka beragam kemungkinan konvergensi layanan informasi. Tentu saja ini menggembirakan karena publik mendapat kesempatan untuk mendapatkan beragam informasi secara lebih luas, beragam, dan murah. Internet juga membuka ruang bagi partisipasi publik untuk menyampaikan gagasan-gagasannya, dan membuat media tak lagi hanya menyajikan informasi satu arah, tetapi juga menyediakan beragam layanan interaktif yang memungkinkan publik mengekspresikan pendapat mereka. Bagaimana internet dapat memperkuat demokrasi di Indonesia?
Morriset menawarkan enam hal yang dipandangnya penting bagi penguatan demokrasi melalui intenet yaitu akses, informasi dan edukasi, diskusi, musyawarah (deliberation), pilihan, dan aksi.
a). Akses; Demokrasi akan menjadi kuat jika setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dapat mengakses Internet. Media-media internet harus dapat diakses oleh siapapun. Masalah yang sering timbul dalam partisipasi demokrasi umumnya terjadi pada wilayah-wilayah yang secara geografis sulit dijangkau. Teknologi sistem informasi yang baik selayaknya menjadi solusi atas problem akses ma syarakat terhadap ruang diskusi-diskusi publik atas beragam isu. Internet adalah ruang yang sangat me- mungkinkan diskusi dan kebebasan berekspersi terjadi tanpa hambatan waktu dan tempat.
b). Informasi dan Edukasi; Dalam diskusi-diskusi atas beragam persoalan publik, seringkali masyarakat terlibat dalam diskusi dengan berbagai latar belakang pengalaman dan informasi yang mereka dapati atas isu tersebut. Keterbatasan peran masyarakat pada proporsi tertentu juga disebabkan oleh minimnya informasi yang mereka terima. Internet selayaknya menjadi ruang bagi terjadinya penyebaran informasi dan pendidikan bagi segenap warga Indonesia di seluruh penjuru tanah air.
c). Diskusi; Internet dapat menstimulasi diskusi tidak hanya antar warga negara, tetapi juga dengan pemimpin mereka. Kehadiran Internet membuka ruang bagi masyarakat untuk berdialog dengan para pejabat pemerintahan, apakah melalui situs resmi atau media sosial. Keterhubungan masyarakat dengan para wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, juga bupati, walikota dan perangkat desa, seharusnya dapat terbuka di dunia maya.
d). Musyawarah (deliberation); Berbagai macam bentuk sistem komunikasi interaktif di internet harus membuka ruang bagi terjadinya proses musyawarah. Pertimbangan yang matang adalah prasyarat bagi sebuah keputusan yang tepat. Oleh karena itu, agar proses musyarawah terjadi, setiap kepentingan atau sudut pandang harus mendapat tempat. Internet adalah ruang yang memungkinkan keterhubungan antar masyarakat tanpa hambatan geografis dan waktu. Inilah kenapa akses Internet penting dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah-wilayah dengan letak gografis yang sulit. Di wilayah geofrafis yang terpisah oleh lautan, misalnya, kehadiran Internet seharusnya menjadi solusi bagi terjadinya musyawarah atas beragam persoalan di wilayah itu.
e). Pilihan; Proses demokrasi terjadi ketika masyarakat dihadapkan pada sejumlah pilihan. Diskusi dan kebebasan berpendapat mendapat tempat ketika warga atau partisipan memahami bahwa ada beragam alternatif pilihan yang bisa diambil. Tanggungjawab pemerintah tidak hanya mengedukasi publik atas beragam persoalan yang ada, tetapi juga juga memastikan proses pengambilan suara atas pilihan yang ada berjalan adil.
f). Aksi; keterbukaan akses, informasi yang memadai, terbukanya ruang-ruang diskusi, dan tersedianya beragam pilihan, pada ujungnya adalah sarana bagi masyarakat untuk melakukan aksi dan berpartisipasi dalam ruang-ruang demokrasi.

Daftar Pustaka
Habermas, J. (2000). The Public Sphere. Dalam P. Maris, & S. Thornham (Penyunt.), Media Studies: A Reader (hal. 92-98). New York: New York University Press. Holub, R. (1991). Jurgen Habermas: Critique of The Public Sphere. London: Routledge.